— Sabtu Pagi

Kala Menepi [Ami]

--

from Intuisi by _kalamenepi on X [twitter]

Sesuai janjinya beberapa hari yang lalu, sabtu pagi ini selain mengajak Rezky, Ezra juga mengajak Jerry untuk bermain basket bersama.

Begitupun dengan Jiyad, selain mengajak Cello, sahabatnya, Jiyad juga mengajak sahabatnya yang lain, Eric dan Dio. Dan saat ini, mereka sedang serius bermain, saling melawan antar tim yang sudah mereka rencanakan.

Kalau ditanya mengapa Ezra dan Jiyad bisa saling mengenal, semuanya berawal dari keisengan dan rasa penasarannya Ezra.

Berawal dari iseng mencoba ketoprak yang direkomendasikan sepupunya, Ezra jadi menemukan lapangan basket dekat gerobak tukang ketoprak yang kini jadi langganannya. Sejak beberapa bulan yang lalu.

Sedangkan Jiyad yang tinggal di perumahan dekat lapangan tersebut, memang sudah biasa bermain basket di lapangan ini, sejak duduk di bangku SMP. Entah sendiri, bersama teman sekolahnya, bersama tetangganya, atau bersama siapapun yang sedang bermain.

Sejak beberapa bulan lalu lah, Ezra dan Jiyad saling mengenal.

Tepat di hari sabtu juga.

Saat itu Jiyad tengah memainkan bola basketnya di pinggir lapangan, sembari duduk karena memang sudah lelah dan ingin beristirahat. Sedangkan teman-temannya yang lain, masih asyik bermain basket dengan ambisi yang membara untuk saling berlomba mencetak skor.

Memang dasarnya Ezra yang mudah akrab dengan siapapun, lelaki yang baru saja membeli ketoprak itu berjalan menuju ke pinggir lapangan. Melihat beberapa orang yang sedang bermain, sembari menenteng kantung keresek hitam berukuran kecil di tangannya.

Begitupun dengan Jiyad yang juga tipikal mudah akrab dengan siapapun. Ketika melihat seseorang yang tak ia kenali berdiri tidak jauh dari tempatnya duduk, segera ia berhenti memainkan bolanya. Ia masih terus menatap seorang lelaki bertubuh jangkung yang mengenakan sweater dan celana abu tersebut, karena sedikit ragu untuk bertanya.

Ezra yang merasa ada yang melihatnya itu ikut menoleh, cukup terkejut karena benar ternyata, ada seseorang yang sejak tadi menatapnya.

“Bang, mau ikutan main?”

“Eh — boleh emang?”

“Boleh aja Bang kalau mau, bentar.” Jiyad lalu memanggil Cello yang masih sibuk ancang-ancang untuk menangkap bola dan menghalangi lawan, membuat Cello mendadak menoleh. “Lo mau gantian, enggak? Ada yang mau ikut main nih. Lo udah dari pagi main, enggak capek emang?”

“Boleh, bentar.”

Lantas Cello segera memberi tahu yang lain bahwa ia akan digantikan oleh seseorang, dan teman-temannya yang paham dengan apa yang Cello maksud itu lantas mengangguk. Setelah itu Cello segera berlari ke pinggir lapangan, dan memberi tahu — seseorang yang Jiyad maksud untuk menggantikan dirinya — perihal mana saja orang-orang yang satu tim dengannya di permainan kali ini.

Mengerti, Ezra segera menyimpan kantung keresek hitam di meja pinggir lapangan. Lelaki itu langsung bergabung. Begitu lihai untuk masuk ke dalam dalam lingkungan baru sampai mudah sekali berbaur, dan baru saja beberapa detik bermain, teman satu timnya sudah mengajaknya untuk bekerja sama saling mengoper bola untuk mengalahkan tim lawan.

“Siapa?” tanya Cello.

Jiyad mengendikkan bahunya.

“Oh,” ujar Cello dengan santai. Lelaki itu lalu mengambil botol minumnya dan segera menenggak air mineral tersebut sampai setengah botol.

Bagi mereka, bermain dengan seseorang tak dikenal itu sudah menjadi hal yang biasa. Mereka bisa bermain kapanpun dan dengan siapapun.

Mereka akan bergabung dengan orang-orang yang sudah lebih dulu menggunakan lapangan ini. Beruntungnya, tak pernah ada yang mempermasalahkan, semua yang bermain basket di lapangan ini, akan menyambut siapapun yang memang ingin ikut bermain bersama.

Lantas hari itu, Jiyad dan Cello hanya menunggu di lapangan sampai permainan selesai. Meskipun sebenarnya tak ada yang mereka tunggu, karena mereka pun terutama Cello, ikut bermain bersama orang-orang yang tinggal di dekat perumahan dekat lapangan.

Karena berbeda blok juga, jadi Jiyad pun hanya tahu, tapi tak begitu kenal.

Mereka berdua hanya ingin menonton sambil beristirahat.

Saat selesai bermain lah, Ezra berkenalan dengan Jiyad dan Cello. Karena yang lain memilih untuk langsung berpamitan pulang.

Cello yang mengagumi cara Ezra bermain itu langsung mengajaknya untuk kembali main bersama di lain waktu. Sejak saat itu, Ezra selalu datang, kadang mengajak Rezky, sampai mereka benar-benar saling mengenal satu sama lain. Perbedaan usia di antara merekapun tak jadi halangan.

Dan hari ini, secara kebetulan juga, lapangan basket sedang sepi. Hanya ada Ezra, Jiyad, Cello, Eric, Dio, Rezky, dan Jerry yang bermain. Mungkin karena mereka juga sepakat untuk bermain pagi hari, di saat orang-orang mungkin masih bermalas-malasan di atas ranjang tempat tidurnya.

Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi, waktu untuk bermain yang sudah disepakati akhirnya selesai. Mereka semua langsung berlari ke pinggir lapangan, Dio lalu duduk di pinggir lapangan sambil meluruskan kakinya dan minum air mineral miliknya, begitupun dengan Cello dan Eric yang menyusul Dio, duduk di sampingnya dengan napas terengah.

Berbeda dengan Rezky dan Jerry yang masih bermain dengan santai di lapangan. Sedangkan Ezra dan Jiyad duduk di bangku pinggir lapangan sembari meminum air mineralnya masing-masing.

Selesai melepas dahaga, Jiyad lalu bertanya, “Bang, gue baru kenal Bang Jerry hari ini, padahal beberapa kali sempat liat dia di kost-annya Kak Keisha, ternyata Bang Jerry tuh temen lo ya, Bang? Satu SMA juga?”

Ezra lalu menyimpan botol air mineral yang sudah kembali itu tutup itu di sampingnya, lelaki itu menggeleng. “Jerry temen gue waktu gue masih tinggal di Bandung,” katanya. “Kalau Rezky, baru temen satu SMA juga, malah Rezky lebih kenal sama Kakak lo daripada gue.”

Jiyad menoleh, seolah bertanya. Oh ya?

“Kalau gue sih, waktu kelas 3 baru pindah ke Jakarta.”

Mendengar itu, Jiyad lalu mengangguk dan ber-oh-ria tanpa suara.

“Terus, gue kenalin dah tuh Rezky sama Jerry, pas tau Jerry mau kuliah di sini.” Ezra kemudian terkekeh. “Makanya, gue juga kaget sebenernya pas anterin Keisha beberapa hari yang lalu, taunya satu kost sama Jerry. Selama gue main ke sana, enggak pernah ketemu soalnya.”

“Pas Kakak gue kerja kali ya Bang, kalau lo lagi ke sana.”

“Oh — iya kali ya.”

Lalu Jiyad kembali membuka botol air mineralnya dan kembali menenggaknya, bahkan kali ini sampai habis tak bersisa.

“Eh Ji, lo sama yang lain mau ikut makan enggak? Bareng gue Rezky, sama Jerry. Habis ini kita mau makan, sambil nongkrong lah biasa.”

“Enggak deh Bang, gue sama yang lain ada rencana mau langsung ke rumah Cello. Mau makan di sana kita, biasa, sambil main PS.”

Kali ini giliran Ezra yang bergumam seraya mengangguk. Namun tiba-tiba, ponsel Jiyad di dalam tas berdenting, tanda ada pesan yang masuk.

Jiyad buru-buru mengambil ponselnya, bersamaan dengan Rezky yang berjalan menghampiri Ezra dengan napas terengah.

“Bagi minum, Zra.”

Ezra lalu melempar botol minumnya yang langsung Rezky tangkap, dan tiba-tiba Jiyad berdiri sembari mengambil ranselnya. “Bang, gue balik duluan ya,” ucapnya. Membuat Ezra dan Rezky menatapnya bingung. Begitupun dengan Cello, Eric dan Dio yang langsung menoleh ke arah Jiyad.

“Eh, mau kemana?” tanya Cello sembari berdiri dan menepuk nepuk celana belakangnya karena sedikit kotor, disusul Dio yang ikut berdiri. Sedangkan Eric tetap duduk, sembari mendongak menatap Jiyad. Wajah bingungnya begitu kentara.

“Cel, sorry. Next time deh ya gue ke rumah lo, bokap nyuruh gue balik.” Buru-buru Jiyad menyampirkan tas ranselnya di salah satu pundaknya, lalu berlalu meninggalkan lapangan setelah kembali berpamitan.

“Hati-hati, Ji.” Ezra akhirnya berteriak.

“Ji, kalau ada apa-apa langsung hubungi gue.” Kali ini Cello yang berteriak.

“Gue juga, Ji.” Dio ikut berteriak.

“Gue juga,” teriak Eric tak kalah kencang.

Sedangkan Jiyad yang sudah berjalan meninggalkan lapangan dan masih bisa mendengar teriakkan dari teman-temannya itu lantas segera mengacungkan jempolnya tanpa menoleh. Membuat mereka yang masih berada di pinggir lapangan itu, hanya bisa menatap punggung Jiyad yang semakin menjauh dengan tatapan berbeda-beda.

Jiyad sampai lupa untuk benyak mengobrol dengan Ezra.

Ezra dan Rezky hanya menatapnya dengan tatapan bingung, sedangkan Cello, Eric, dan Dio menatap punggung itu dengan tatapan khawatir.

“Kok buru-buru gitu si Jiyad?” tanya Rezky heran, dan Ezra hanya mengendikkan bahunya. Mereka sama-sama dibuat bingung.

Jiyad memang diminta untuk segera pulang, tapi rasanya aneh kalau sampai sepanik itu jika hanya karena ayahnya memintanya untuk segera pulang. Apa ada sesuatu yang urgent?

“Ric, Yo, lo pada jangan susah dihubungi,” ucap Cello pada Eric dan Dio. Lelaki itu kemudian berjalan untuk mengambil tas ranselnya yang ia simpan di atas kursi, tepat di samping Ezra. “Standby terus, takut si jiyad ada apa-apa.”

“Siap!”

Sorry — emang Jiyad kenapa kalau gue boleh tau?” tanya Ezra, dan Rezky yang sedang minum itu diam-diam memasang kupingnya lebar-lebar.

“Ayahnya galak banget Bang,” ujar Cello yang kini duduk di samping Ezra, sembari merapikan barang-barang dan menutup resleting tas ransel yang kini berada di pangkuannya. “Sebenernya dulu kagak segalak ini sih, tapi beberapa tahun belakangan ini kerjaanya marah-marah mulu.”

Tiba-tiba Cello sadar akan kesalahannya.

“Eh sorry Bang, gue enggak seharusnya cerita kayak gini. Tapi ya — gue kasian aja gitu sama Jiyad, tapi gue juga enggak bisa banyak bantu.”

“Santai, rahasia aman.”

Mendengar Ezra mengatakan demikian, Rezky mengangguk setuju. “Kalau ada apa-apa, terus butuh bantuan gue sama Ezra, enggak apa sih kalau lo pada mau hubungi kita. Ya — kali aja kita bisa bantu?”

“Iya, kasih tau kita juga coba, kalau butuh bantuan.”

Ok. Cello mengiyakan, dan berterima kasih atas tawaran yang mereka berdua tawarkan. Lalu Cello mengajak Eric dan Dio untuk ke rumahnya, keduanya lalu berpamitan pada Ezra, Rezky dan juga berpamitan dengan Jerry yang masih asyik bermain sendiri di tengah lapangan.

Waktu terus berjalan, sebelum semakin siang dan mereka kelaparan, Ezra akhirnya mengajak mereka untuk segera mencari makan. Jerry yang masih bermain itu sampai harus diseret Rezky untuk segera pergi.

Akhirnya mereka meninggalkan lapangan.

Ketika Jerry berjalan lebih dulu menuju mobilnya, Rezky kemudian merangkul Ezra dan berbisik. “Eh Zra, kemarin kata lo Jiyad tuh ternyata adeknya Keisha kan? Kata si Cello, Ayahnya galak. Ada hubungannya sama Keisha ngekost kali ya?” tanyanya, mendadak kepo.

Lagi, Ezra mengendikkan bahunya. “Ya mana gue tau, kali aja biar deket ke tempat kerjanya, kan? Lagi kepo amat. Gue juga rumah di Jakarta tapi tinggal di apartemen biar fokus pas kerja Ky, kalau lo lupa.”

Rezky berdecih. Ezra kira, Rezky tidak tahu kalau sahabatnya ini memiliki alasan lain kenapa memilih tinggal di apartemen — dibanding di rumah bersama keluarganya — selain mau fokus kerja, kali ya.

Tapi diam-diam, Ezra lalu termenung.

Iya juga ya? ah tau dah, bukan urusan.

--

--

No responses yet

Write a response